Demam BBF
Diposting: Senin, 03 Agustus 2009 / 02:02:15 | Oleh: annida | Kategori: Cerpen
Halaman ini diakses sebanyak: 3037 kali | Status Posting: Publish | Kirim ke teman via email Cetak konten ini
Rating: (10 / 10) 1 rater
BBF.gif
Penulis : Syamsa Hawa
Baru saja Edit membuka engsel pintu pagar rumahnya, tiba-tiba Tina dari dalam rumah berlari-lari sambil meneriaki namanya, persis seperti adegan kuda lumping kesurupan.
"Mas Ediiit!" Kemudian dilanjutkan dengan kalimat selanjutnya yang mirip intruksi tim gegana ketika menjinakkan bom, "Jangan masukin motornya duluu!"
Kontan Edit ternganga di atas hondanya. Sementara Tina ngos-ngosan menghadang ban depan motor Edit itu.
"Plis, Mas, pliis...!" Tina memohon dengan ekspresi hampir menangis sambil menutup pintu pagar, membuat Edit mau tidak mau harus memundurkan motornya kembali ke luar.
"Ada apa sih, Na?"
"Penting, Mas! Penting banget! Lu cepet anterin gue ke Alfamart!" tanpa dikomando apalagi diberi aba-aba, Tina tahu-tahu sudah duduk di belakang Edit.
"Kenapa nggak sama Mbak Nita sih? Mas kan baru pulang kuliah!" Edit mencoba menyampaikan aspirasinya, tapi keburu dibungkam oleh ancaman Tina yang disertai isakan memilukan.
"Ya udah kalo lu nggak mau nganterin juga, sini gue yang nyetir sendiri, biarin kalau gue ketabrak di jalan. Emang orang di rumah ini nggak ada yang peduli sama gue!" Tina ngambek. Bulir-bulir air seakan sudah siap meluncur sejak tadi dari kedua bola matanya dan juga hidungnya. Jurus ampuh yang dapat memaksa Edit terenyuh dan iba.
Biar bagaimanapun, Edit tahu persis Tina belum lihai mengendarai motor, maka dengan berat hati dan pikiran yang sesak oleh kebingungan, Edit pun menuruti permintaan adik bungsunya itu.
"Ya sudah Mas anter deh, mau beli apa sih?"
Tina tersenyum super lebar, tanpa jawaban.
"Cepetan, Mas!"
***
Lima mini market, tujuh tempat loper koran yang kebanyakan sudah nyaris tutup karena memang sudah cukup malam, semuanya disambangi oleh motor Edit, namun nihil, apa yang Tina cari belum juga didapatkan. Setengah putus asa gadis SMA itu melapor pada Edit.
"Gimana nih, Mas... semua bilang udah kehabisan!"
Demi melihat wajah depresi adiknya itu kembali menyimpan harapan, Edit pun mengalahkan rasa lelahnya.
"Di dekat patal kalau nggak salah masih ada satu tempat loper lagi, lumayan besar, coba cari di sana, mungkin ada!"
Tina buru-buru melesat ke jok belakang Edit tanpa kata. Mas kesayangannya itu pun langsung menancap gas.
Dugaan Edit benar, tempat loper itu rupanya masih menyimpan banyak stok tabloid yang dicari-cari oleh Tina. Abang penjualnya bahkan sudah tahu apa yang sedang dicari-cari Tina sebelum gadis itu mengatakannya.
"Nyari tabloid SupperStarr kan?"
Ckckck...
Rupanya tabloid itu memang sedang laris manis tanjung timpul, membuat rasa penasaran Edit makin runcing saja.
"Ada berita apa sih, Na? Kok segitu perlunya?" Edit mencoba mengintip-intip.
Tina masih mematung di depan tempat loper itu, asyik menatapi cover tabloid yang dengan tetes keringat dan air mata akhirnya berhasil ia peroleh. Setelah Edit mengulangi pertanyaannya untuk kedua kalinya barulah Tina mampu menjawab.
"Ini edisi spesial BBF keempat, Mas! Gue nggak mau ketinggalan."
"BBF?" Edit tidak mengerti.
Tina pun membalik cover tabloidnya ke arah Edit. Terpampanglah foto empat orang cowok yang memamerkan aura kegantengan Asia, dengan deretan gigi rapi berkilau dan pandangan mata yang menghipnotis seolah minta dibeli. Edit terpelongo tidak percaya, rupanya pengorbanannya malam ini hanya demi untuk...
"Boys Before Flowers!" Tina tersenyum haru.
Edit nge-gubrak dalam hati.
***
"Kamu apa-apaan sih, Dit? Ngapain semalam kamu antar Tina segala?"
Keesokan paginya, setelah Tina berangkat sekolah, sebelum Edit ngampus, Mbak Nita melayangkan teguran. Edit sudah bisa menduga sebelumnya, karena sepulang dari patal semalam Tina menyembunyikan tabloid cover BBF itu begitu sampai rumah. Takut apalagi? Pasti takut ketahuan Mbak Nita.
"Lihat tuh si Tina! Kayak pemuja berhala di zaman Nabi Ibrahim." Seloroh kakak sulungnya itu lagi.
"Masa sih, Mbak?" Edit meragukan karena memang Mbak Nita sering terkesan lebay.
"Cuma membeli tabloid apa salahnya to?" Edit kembali berujar.
"Lihat sendiri dengan mata kepalamu!" potong Mbak Nita sambil menunjuk ke arah kamar Tina.
Edit menyibak tirai kamar Tina. Poster-poster ukuran besar tertempel di mana-mana, persis kayak musim kampanye. Semuanya memajang wajah cowok-cowok tampan berbagai pose dengan huruf bulat-bulat khas Korea yang menunjukkan nama mereka, bahkan Edit sendiri mengakui wajah para model itu memang tertib. Andai saja mereka memakai baju koko, celana bahan, kemudian ikut casting KCB, pastilah jumlah penonton akhwat makin membludak.
"Bahkan di kaca lemari pun dia tempel poster berhala itu! Lemari itu kan berada di arah kiblat!" seru Mbak Nita berang.
Jujur saja, Edit masih merasa telinganya tertusuk dengan kata berhala, apakah tidak ada padanan kata lainnya yang lebih enak didengar?
"Tina bilang mereka itu idolanya, kamu bayangkan saja orang-orang kafir seperti itu jadi idola! Tiap hari menyetel lagu-lagu mereka, bahkan dihapal-hapal segala, semalam saja dia baru tidur jam dua belasan karena menonton sinetron Korea itu!" Mbak Nita menunjuk-nunjuk televisi.
"Ssst, Mbak, nggak baik loh bilang seseorang kafir ketika masih hidup, barangkali suatu hari mereka jadi mualaf kayak Jacko, hayyo!" kata-kata Edit itu malah bikin Mbak Nita makin geram.
"Sudah dari dulu Mbak mau robek poster-poster itu, tapi Tina mengancam mau kabur dari rumah kalau Mbak rusak sedikit saja poster itu! Keterlaluan kan?"
Edit terhenyak. Sepertinya ia memang terlalu asyik dengan urusannya sendiri hingga tidak memperhatikan kelakuan Tina akhir-akhir ini.
Benarkah apa yang dilaporkan mbak Nita tadi? Atau mbak Nita saja yang berlebihan? Tapi kalau diingat-ingat lagi kejadian semalam, nampaknya ke-lebay-an mbak Nita kali ini memang beralasan. Edit merasa harus melakukan sesuatu. Secara, dialah pemimpin di rumah ini.
***
Hal: 1 2 3
Komentar